Kalau Lebaran biasanya kamu kemana?
Aku sekeluarga tiap tahun berkumpul bersama keluarga besar di Salatiga, tempat tinggal Buyut. Perjalanan dari Semarang ke Salatiga sekitar 1 jam setelah sholat Ied. Di jalan kadang lancar kadang macet tiap kali Lebaran. Bebarengan dengan motor-motor pemudik dengan dus-dus di belakang dan keluarga Ayah, Ibu, dan Anak dalam satu motor. Ada raut capek di wajah Ibu dan Anak. Sang Ayah tersisa sedikit semangat memacu gas agar segera sampai di rumah Neneknya anak-anak.
Selepas Bawen pemandangan lebih hijau dengan kiri-kanan kebun kopi. Jalan agak merayap karena jalurnya menjadi sempit berbagi dengan bis, mobil, dan motor. Di sebelah kanan terdapat Danau Rawa Pening. Teman-teman pernah dengar cerita rakyat terjadinya Rawa Pening? Begini ceritanya, Pada zaman dahulu di desa Ngasem hidup seorang gadis bernama Endang Sawitri yang sedang hamil sedangkan suaminya pergi sudah sekian lama. Tak lama kemudian ia melahirkan dan sangat mengejutkan penduduk karena yang dilahirkan bukan seorang bayi melainkan seekor Naga. Anehnya Naga itu bisa berbicara seperti halnya manusia. Naga itu diberi nama Baru Klinting.
Di usia remaja Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Bu, “Apakah saya ini juga mempunyai Ayah?, siapa ayah sebenarnya”. Ibu menjawab, “Ayahmu seorang raja yang saat ini sedang bertapa di gua lereng gunung Telomaya. Kamu sudah waktunya mencari dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu ke sana dan bawalah klintingan ini sebagai bukti peninggalan ayahmu dulu. Dengan senang hati Baru Klinting berangkat ke pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayahnya.
Sampai di pertapaan Baru Klinting masuk ke gua dengan hormat, di depan Ki Hajar dan bertanya, “Apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara?” Kemudian Ki Hajar menjawab, “Ya, benar”, saya Ki Hajar Salokantara. Dengan sembah sujud di hadapan Ki Hajar, Baru Klinting mengatakan berarti Ki Hajar adalah orang tuaku yang sudah lama aku cari-cari, aku anak dari Endang Sawitri dari desa Ngasem dan ini Klintingan yang konon kata ibu peninggalan Ki Hajar. Ya benar, dengan bukti Klintingan itu kata Ki Hajar. Namun aku perlu bukti satu lagi kalau memang kamu anakku coba kamu melingkari gunung Telomoyo ini, kalau bisa, kamu benar-benar anakku. Ternyata Baru Klinting bisa melingkarinya dan Ki Hajar mengakui kalau ia benar anaknya. Ki Hajar kemudian memerintahkan Baru Klinting untuk bertapa di dalam hutan lereng gunung.
Suatu hari penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk memeriahkan pesta itu rakyat beramai-ramai mencari hewan, namun tidak mendapatkan seekor hewan pun. Akhirnya mereka menemukan seekor Naga besar yang bertapa langsung dipotong-potong, dagingnya dibawa pulang untuk pesta. Dalam acara pesta itu datanglah seorang anak jelmaan Baru Klinting ikut dalam keramaian itu dan ingin menikmati hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis mereka mengusir anak itu dari pesta dengan paksa karena dianggap pengemis yang menjijikkan dan memalukan. Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia bertemu dengan seorang nenek janda tua yang baik hati. Diajaknya mampir ke rumahnya. Janda tua itu memperlakukan anak seperti tamu dihormati dan disiapkan hidangan. Di rumah janda tua, anak berpesan, Nek, “Kalau terdengar suara gemuruh nenek harus siapkan lesung, agar selamat!”. Nenek menuruti saran anak itu.
Sesaat kemudian anak itu kembali ke pesta mencoba ikut dan meminta hidangan dalam pesta yang diadakan oleh penduduk desa. Namun warga tetap tidak menerima anak itu, bahkan ditendang agar pergi dari tempat pesta itu. Dengan kemarahan hati anak itu mengadakan sayembara. Ia menancapkan lidi ke tanah, siapa penduduk desa ini yang bisa mencabutnya. Tak satu pun warga desa yang mampu mencabut lidi itu. Akhirnya anak itu sendiri yang mencabutnya, ternyata lubang tancapan tadi muncul mata air yang deras makin membesar dan menggenangi desa itu, penduduk semua tenggelam, kecuali Janda Tua yang masuk lesung dan dapat selamat, semua desa menjadi rawa-rawa, karena airnya sangat bening, maka disebutlah “Rawa Pening”.
"Aha, sebentar lagi memasuki Kota Salatiga!" teriakku. Kakakku Sheila tersenyum menatapku sebentar kemudian sibuk kembali dengan handphone-nya. Kota Salatiga hanya dilewati sebentar kemudian menuju ke Desa Ujung-ujung. Jalannya berliku-liku karena terletak di lereng bukit.
Sesampainya di rumah Buyut ternyata disana sudah ramai dengan saudara-saudara. Kalau dihitung ada sekitar seratusan. Seru deh, bisa kumpul kembali. Aku segera bergabung dengan Kania dan Hira temanku dari kecil. Kakakku bergabung dengan Mba Diva, Mba Anis, Mba Audy, dll. Suasana jadi ramai karena masing-masing berebutan untuk cerita.
Setelah itu datang Om Adi, Tante Dewi, dan putranya Hanif beserta saudaranya ada Tante Naning sekeluarga, Om Tommy sekeluarga, dan Om Onny sekeluarga.
Semakin meriah saja menjelang siang, dan waktunya makan siang bersama. Ini acara yang kutunggu he..he..
0 komentar:
Posting Komentar